Ra Mamak Bahas Tasawuf Ekologi di Tapakerbau: Merusak Lingkungan Adalah Bentuk "Maksiat"
Ditulis oleh KabarPemerintah.com - 23 Sep 2025 13:41
FOTO: (Dok. KabarPemerintah.com)
SUMEMEP, KabarPemerintah.com - Pertemuan bulanan Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya kali ini digelar di Kampung Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, tepatnya di Masjid Zainal Abidin yang menjadi pusat peradaban kampung, Selasa (23/09/2025) pukul 13.00 WIB. Meski hanya sebuah kampung kecil seluas 1,7 hektare dengan 120 jiwa penduduk, pertemuan itu mengalirkan pesan besar: menjaga lingkungan bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT.
Aktivis lingkungan Tapakerbau, Ahmad Shiddiq, menegaskan bahwa masyarakat sejak lama berjuang mempertahankan tanah dan pantai yang menjadi tumpuan hidup mereka.
“Mungkin hasilnya tidak seberapa dari segi materi, tapi bagi masyarakat di sini, pantai adalah "polo’na bulan", sumber kehidupan. Kalau lahan ini tergarap habis, siapa yang akan menyapa mereka ketika perut lapar?” ujarnya pria yang juga ketua RT itu dengan nada haru.
Shiddiq mengingatkan bahwa abrasi, sedimentasi, dan rusaknya ekosistem laut, termasuk habitat penyu dan mangrove, adalah ancaman nyata jika pembangunan tambak dibiarkan tanpa kajian matang. “Saya memperjuangkan bukan tanpa sebab, ini tanah leluhur saya, tanah nenek dan buyut saya. Jangan sampai pembangunan merusak ekologi dan ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Tokoh sepuh kampung, Kiai Sahe Yusuf, juga mengenang masa kecilnya saat pantai masih asri dan penuh pepohonan. “Laut ini produktif sejak lama. Kalau dikelola dengan benar, akan memberi manfaat luas tanpa merusak,” katanya.
Tasawuf dan Ekologi: Menjaga Keseimbangan Alam
Pesan lebih dalam disampaikan Pembina Sataretanan, KH Muhammad Shalahuddin, yang mengaitkan perjuangan lingkungan dengan nilai tasawuf. Menurut Kiai Mamak, sapaan akrab beliau, menegaskan bahwa kerusakan alam adalah cermin hilangnya rasa takut kepada Allah.
“Kalau manusia tidak takut kepada Allah, maka ia juga tidak takut merusak ciptaan-Nya. Padahal merusak lingkungan adalah bentuk maksiat. Maka tugas kita mendidik anak-anak, memperkuat aqidah, agar ketika bekerja dan berinteraksi dengan alam selalu menghadirkan keberkahan,” tegasnya.
Kiai Mamak mengingatkan, tasawuf bukan hanya wirid atau dzikir, tetapi juga menjaga akhlak terhadap Allah, sesama, dan lingkungan. “Berangkat ke sekolah itu dzikrullah. Bekerja dengan amanah juga dzikrullah. Inilah thariqah kita: ilmu dan akhlaq. Kalau ini ditegakkan, lingkungan akan lestari, generasi akan selamat,” tambahnya.
Pendidikan, menurut Kiai Mamak, adalah solusi jangka panjang yang bisa diupayakan untuk menyiapkan generasi muda yang berilmu dan berwawasan luas. Sehingga memiliki kesadaran dalam menjaga alam.
"Thariqah kita adalah ilmu dan akhlak. Ini menjadi kunci di dalam menjaga kelestarian alam. Sebab, jika tidak takut kepada Allah, sudah pasti juga tidak takut untuk merusak ciptaannya," tegasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep ini juga menyinggung perihal peran penting ulama dalam menjaga keharmonisan alam dan manusia. Mantan Presiden RI dari kalangan ulama, seperti KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, adalah teladan pemimpin yang menjaga kehormatan manusia.
"Bagi beliau, nyawa manusia lebih berharga dari sekadar jabatan. Sebelum terjadi tumpah darah, beliau sudah mundur. Karena tidak mau terjadi pertumpahan darah. Berbeda dengan saat ini. Meski puluhan hingga ratusan nyawa melayang, jabatan tetap dipertahankan. Seolah nyawa manusia murah harganya," terangnya.
Senada, Direktur Sataretanan, Ajimuddin, menyebut perlunya kesadaran baru yang ia sebut tasawuf ekologi. Sebab menurutnya, dalam perjalanan hidup, manusia perlu memperhatikan 3 hal. Pertama, akhlak kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam atau lingkungan.
“Lingkungan adalah amanah. Memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya,” katanya.
Sedangkan pengasuh Pondok Pesantren Nasy'atul Muta'allimin, Kiai A Dardiri Zubairi, yang juga berkesempatan hadir dalam pertemuan tersebut, menegaskan persoalan Tapakerbau hanyalah bagian kecil dari problem besar di Indonesia.
“Ketika sawah dan ladang dialihfungsikan, dampaknya baru terasa belakangan. Banjir di Sumenep bukan sekadar soal sampah, tetapi akumulasi kerusakan lingkungan dari hulu sampai hilir,” ujarnya.
Meski perjuangan masyarakat Tapakerbau penuh dinamika, semangat mempertahankan lingkungan terus bergelora. Pertemuan Sataretanan di kampung kecil ini kembali mengingatkan, bahwa menjaga alam bukan sekadar untuk hari ini, melainkan untuk masa depan anak cucu, sekaligus wujud nyata ketakwaan kepada Allah SWT.
(AS/FS)
← Kembali ke Daftar